Kamis, 23 Juni 2016

Kisah Bu Eni



Kisah Bu Eni, Penjual Warteg yang Heboh di Sosial Media


       Saeni perempuan berusia 53 tahun, pemilik warung tegal (warteg) di Jalan Cikepuh, Pasar Rau, Kota Serang, Banten ramai menjadi perbincangan di media sosial. Eni menangis melihat dagangannya diangkut petugas Satpol PP pada Rabu 8 Juni 2016 lalu. Akibat peristiwa tersebut, ibu dari empat orang anak ini sempat sakit setelah petugas Satpol PP Kota Serang melakukan razia rumah makan yang tetap beroperasi di siang hari pada Ramadhan.
       Eni asli Tegal ini sempat sehari tak berjualan, hanya bisa menangis di atas kasur kios warungnya, sekaligus menjadi tempat tinggalnya."Kemarin sempat sakit, karena kaget Satpol PP mengangkut dagangan. Saya mikirin, nangis enggak berhenti-berhenti, kata bapak (suami Eni) sudah jangan nangis ajah, nanti air matanya habis," kata Eni saat ditemui di warungnya. Eni menceritakan, saat itu baru selesai masak untuk menjajakan dagangannya, Tapi, petugas Satpol PP datang menggerebek warungnya, tanpa memberikan surat teguran atau peringatan, petugas langsung membungkus seluruh masakannya yang akan dijual untuk dibawa. "Masak dari pukul 10.00 WIB,  selesai pukul 12.30 WIB. Warung juga pintunya ketutup rapat-rapat, jendela dikasih kain, menghormati yang lagi puasa," ujarnya. Peristiwa tesebut kini ramai diperbincangan oleh netizen yang kasihan melihat Saeni hanya bisa menangis dan meminta belas kasihan ketika dagangannya diangkut petugas Satpol PP. Akhirnya Para netizen langsung ramai membuat penggalangan dana untuk Saeni. Ide ini dipelopori akun Twitter @dwikaputra.
       Diketahui bantuan donasi untuk Eni yang beberapa hari terakhir heboh di media sosial menjadi topik perbincangan viral di kalangan netizen. Karena usaha warteg dia di Pasar Rau, Kota Serang, Banten dirazia Satpol PP telah ditutup dengan total Rp 265 juta.
Dalam waktu singkat yaitu 36 jam setelah Dwika Putra seorang komika yang menggosongkan rekeningnya untuk penggalangan dana bagi Bu Eni sudah berhasil mengumpulkan Rp 265.534.758 hingga Ahad siang (12/6). Lebih jauh Eni menuturkan kepada reporter Jurnalislam, dirinya sudah mengetahui tulisan yang tertempel di kaca warungnya sudah ada sebelum Ramadhan tapi Ibu Eni tidak mengetahui isinya karena ia tak bisa membaca.
“Sebenarnya udah ada (Surat Edaran-red), saya tahu ada tulisan, tapi saya gak ngarti apa itu soalnya saya gak sekolah dulu. Saya terus terang gak bisa baca, buta huruf,” tutur Ibu Eni di warungnya. “Sekolah mah sekolah cuma enam bulan tapi karena gak dikasih uang jajan saya berhenti. Saya sudah bilang saya gak bisa baca, tapi tetap saja dangangan saya diangkut,"terang Ibu Eni. Ibu Eni juga mengaku tidak ada orang yang memberitahu isi Surat Edaran itu. Ia mengungkapkan, pada hari Rabu (8/6) itu ia baru mulai berjualan.
       “Puasa kan hari Senen, hari Rebo itu saya baru siap-siap baru masak,jam 8, beres jam 12, setengah satu ditaruh disitu (etalase-red), baru layanin enam rebu perak, terus dateng itu Satpol PP,” ujarnya. "Padahal pintu warung semua sudah ditutup, jadi gak kelihatan warung buka. Pintu ya tertutup semua, udah,"Lanjut bu Eni sebagaimana di wawancara Selebrita pagi Trans7. Peristiwa yang dialami Ibu Eni menuai simpati dari netizen. Ibu Eni mengku mendapat bantuan dana dari beberapa pihak untuk mengganti kerugian yang ia alami pasca barang daganganya disita Satpol PP. Ibu Eni mendapat bantuan dana sejumlah Rp 1 juta dari Kompas dan Rp 10 juta dari ajudan Jokowi. “Iya itu untuk gantian uang modal katanya dari Kompas itu satu juta, terus setengah satu Pak Jokowi nyuruh ajudannya kesini ngasih sepuluh juta,” katanya. Ibu Saeni juga mengaku sakit setelah kejadian itu karena kaget, tiba - tiba didatangi Satpol PP.  "Saya lihatnya 'ora kolu' (tidak tega) dagangan diangkut, Jadi saya tinggal pergi, dan sempat itu sakit panas dingin karena kaget mungkin,"jelas Ibu Eni.


Kesimpulan:
Jika pemerintah menerapkan peraturan untuk tidak berdagang selama bulan Ramadhan seharusnya tidak pandang bulu. Masyarakat kecil yang berdagang di razia sedangkan tempat makan yang besar tidak dilakukan razia. Pada saat menerapkan peraturan, seharusnya para pedagang diberi sosialisasi sebelumnya bukan hanya menempelkan peraturan di depan warung saja. Seperti bu Eni yang tidak bisa baca dan tulis dia tidak tahu isi dari peraturan tersebut, tiba- tiba warungnya di razia padahal dia tidak mengetahui soal peraturan yang ditetapkan sebelumnya. Dan juga  jika ada pedagang yang masih berjualan setelah di tetapkan peraturan seharusnya mereka di beri surat peringatan dahulu, jika mereka masih melanggar maka setelah itu petugas dapat melakukan razia.




0 komentar:

Posting Komentar