Jumat, 29 April 2016

Reklamasi teluk Jakarta



Reklamasi Teluk Jakarta



                Proyek reklamasi Teluk Jakarta kian menjadi sorotan publik. Kontroversi pun semakin menjadi, usai ditangkapnya Ketua Komisi V DPRD DKI Jakarta Muhammad Sanusi yang sedang disuap oleh utusan Agung Podomoro Land. Praktik haram itu diduga terkait dengan penyusunan rancangan Perda Reklamasi yang sedang disusun DPRD DKI Jakarta. Lalu, bagaimana sebenarnya reklamasi Teluk Jakarta bermula? Berikut kronologi reklamasi Teluk Jakarta yang ditulis dari Pendahuluan Kertas Posisi Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta Penolakan Terhadap Proyek Reklamasi Teluk Jakarta yang bersumber dari laman resmi LBH Jakarta.
Teluk Jakarta, atau dikenal juga dengan sebutan Pantai Utara Jakarta, berada di sebelah utara Jakarta. Salah satu kawasan perairan di Jakarta ini secara geografis di sebelah barat berbatasan dengan Tanjung Pasir, sebelah timur berbatasan dengan Tanjung Karawang, dan di sebelah utara berbatasan dengan bagian luar Kepulauan Seribu. Tempat ini menjadi muara bagi sungai besar yaitu Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane serta 13 sungai yang berhulu di Bogor.
Teluk Jakarta adalah sebuah kawasan perairan yang kaya dengan hasil lautnya berupa hewan laut seperti ikan, kerang, kepiting, dan udang. Perairan Teluk Jakarta menjadi salah satu pemasok ikan dan hewan lainnya di Jakarta. Wilayah Teluk Jakarta juga menjadi tempat yang penting bagi masyarakat di pesisir Utara Jakarta yang mata pencahariannya adalah nelayan. Perkampungan nelayan sudah berdiri lama dan kehidupan mereka bergantung pada laut di Teluk Jakarta. Teluk Jakarta juga menjadi habitat bagi burung laut Cikalang Christmas. Bahkan, Teluk Jakarta pernah diusulkan untuk menjadi cagar alam karena menjadi habitat bagi burung laut Cikalang Christmas.
Pada tahun 1995, pemerintah pusat memaksakan proyek Reklamasi Teluk Jakarta dengan dikeluarkannya Keppres No. 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang ditetapkan oleh Presiden Soeharto pada 13 Juli 1995. Keppres tersebut menetapkan Reklamasi Pantura sebagai satu-satunya jalan upaya penataan dan pengembangan ruang daratan dan pantai untuk mewujudkan kawasan pantai utara sebagai kawasan andalan. Kawasan andalan diartikan sebagai kawasan yang mempunyai nilai strategis dipandang dari sudut ekonomi dan perkembangan kota.
Pakar kelautan dari Institut Pertanian Bogor, Alan F Koropitan, mengungkapkan bahwa reklamasi Teluk Jakarta sebenarnya bertentangan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 122 tahun 2012. Perpres tersebut selama ini digunakan untuk menghalalkan pelaksanaan reklamasi sebab memang memberi restu pada pemerintah daerah untuk melakukan reklamasi.
"Gubernur dan bupati/walikota memberikan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi dalam wilayah sesuai kewenangannya dan kegiatan reklamasi di pelabuhan perikanan yang dikelola oleh pemerintah daerah," demikian bunyi pasal 16 Perpres tersebut. Alan tak menampik bahwa dari sudut pandang kewilayahan, berdasarkan perpres tersebut, pemerintah daerah memang memiliki kewenangan untuk mereklamasi. Hanya empat pulau di pantai utara Jakarta yang merupakan kawasan strategis nasional dan berada di bawah kewenangan kementerian, yaitu Pulau Onrust, Cipir, Kelor, dan Bidadari. Sisanya berada dibawah kewenangan pemerintah DKI. Namun demikian, Alan mengajak untuk melihat hal lain yang sebenarnya juga terungkap pada Perpres tersebut, tentang syarat-syarat dilaksanakannya reklamasi. Ayat 4 Perpres itu berbunyi, "Penentuan lokasi reklamasi dan lokasi sumber material reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat 2 wajib mempertimbangkan aspek teknis, aspek lingkungan hidup,dan aspek sosial ekonomi."Aspek teknis diantaranya adalah hidrooseanografi yang meliputi arus laut dan sedimen. Aspek lingkungan diantaranya kualitas air. Aspek sosial ekonomi diantaranya terkait matapencaharian dan potensi konflik. Dari aspek lingkungan, berdasarkan kajian Dannish Hydraulic Institute (DHI), lembaga yang dikontrak khusus oleh Kementerian Luar Negeri pada tahun 2011, reklamasi berdampak buruk bagi lingkungan.
"Berdasarkan kajian 17 pulau sekaligus, bukan pulau per pulau, reklamasi akan mengakibatkan perlambatan arus," kata Alan ketika dihubungi Kompas.com, Jumat (8/4/2016).
            Lambatnya arus berakibat pada banyak hal. Arus berperan "mencuci" material di suatu perairan. Arus yang lambat berarti kemampuan "cuci" juga berkurang sehingga akan mengakibatkan akumulasi material disekitar pulau reklamasi. Material tersebut bisa berbagai macam. Pertama adalah sedimen yang berasal dari perairan darat. Akumulasi sedimen, atau sedimentasi, akan mengakibatkan penyumbatan air dari darat akan sulit masuk ke laut. Ini berpotensi menimbulkan limpasan. Kedua adalah material organik. Meskipun bisa bersifat "menyuburkan" perairan, material organik bisa bersifat toksik bila berlebihan. Akumulasinya akan menyebabkan kematian ikan.Akumulasi material organik juga akan memicu pertumbuhan alga beracun. Bom populasi alga memang umum terjadi di perairan. "Tapi reklamasi akan meningkatkan peluangnya,"kata Alan. Yang paling berbahaya adalah material berupa logam berat. Perairan utara jakarta sudah terkenal dengan kandungan logam beratnya. Jika arus melambat, logam berat yang terakumulasi di perairan utara Jakarta makin tinggi.
          Dalam kesimpulan laporannya, DHI menyebutkan bahwa reklamasi berdampak buruk bagi lingkungan dan sejauh ini belum ditemukan cara untuk memitigasi beragam dampak tersebut. Alan mengajak untuk menyudahi rebutan wewenang dalam soal reklamasi dan melihat dampak nyata yang mungkin terjadi. Ia juga sekaligus meminta Presiden Jokowi bertindak dan membuktikan komitmennnya pada laut."Kasus tangkap tangan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan ribut-ribut ini adalah momen yang tepat untuk menghentikan reklamasi di Teluk Jakarta dan memperbaiki tata kelola pesisir dan laut," tegas Alan
Penghentian pembahasan Raperda Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta serta Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (ZWP3K) oleh DPRD DKI Jakarta menimbulkan beberapa konsekuensi. Kepala Dinas Penataan Kota DKI Jakarta Iswan Achmadi menyatakan, jika Raperda Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara tak disahkan, semua bangunan yang telah didirikan di pulau hasil reklamasi belum bisa mendapatkan izin dari Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP) DKI Jakarta. "Dengan begitu, semua bangunan tersebut tak ubahnya dengan bangunan ilegal," kata Iswan di Balai Kota, pekan lalu. Namun, pakar hukum lingkungan hidup Asep Warlan Yusuf menyatakan, bangunan yang kadang dibangun akan berdiri sebagaimana adanya, tanpa status. "Untuk bangunan yang sudah telanjur dibangun dinyatakan status quo sampai dengan adanya kepastian atau keabsahan dan legalitas dari rencana tata ruang pantai utara," jelasnya kepada Kompas.com, Selasa (12/4/2016).
Ucapan Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi yang menyebutkan pembicaraan kedua raperda itu dihentikan, bukan ditunda, mengindikasikan reklamasi dipastikan akan batal. Jika itu benar terjadi dan reklamasi dibatalkan, maka bangunan yang sudah berdiri di sekitar Pantai Utara Jakarta mesti mendapatkan ganti rugi. "Apabila keputusan akhir reklamasi dibatalkan, maka bagi bangunan yang telah berizin harus ada penggantian yang layak terhadap pemilik bangunan, seperti tercantum dalam Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang," tutur Asep.
Saat ini, di satu dari 17 pulau hasil reklamasi di Pantai Utara Jakarta, yakni Pulau C, telah didirikan sejumlah bangunan oleh PT Kapuk Naga Indah, anak perusahaan dari Agung Sedayu Group. "Untuk Pulau C, kami sudah melakukan penertiban. Surat peringatan sudah dilayangkan. Surat segel juga sudah dilayangkan, sama surat perintah bongkar. Kami arahkan agar kegiatan pembangunan dihentikan di lapangan sampai perizinan selesai dilakukan," kata Iswan.
Dari sebuah dokumentasi di Pulau C baru-baru ini, tampak pembangunan di pulau tersebut sudah sangat masif. Beberapa bangunan dan zona-zona tertentu telah dibuat oleh pekerja di lapangan, termasuk infrastruktur, seperti akses jalan dari dan ke Pulau C.

Komentar:
            Reklamasi Teluk Jakarta akan berakibat buruk bagi para nelayan di sekitar Teluk Jakarta. Dengan adanya reklamasi mereka akan kehilangan mata pencarian mereka selama ini. Dan juga dengan adanya reklamasi ini dapat merusak habitat burung  Cikalang Laut Christmas. Seharusnya pemerintah lebih bisa memikirkan dampak apa saja  yang ditimbulkan dengan adanya reklamasi, jangan hanya mementingkan faktor ekonomi dan perkembangan kota saja. Banyak dampak negatif yang di timbulkan dengan danya reklamasi ini, sebaiknya pemerintah memikirkan kembai keputusan untuk mereklamasi Teluk Jakarta demi kebaikan semua pihak.


0 komentar:

Posting Komentar