Kamis, 23 Januari 2014

Korupsi di Kalangan Politisi

KORUPSI terjadi hampir di setiap kalangan masyarakat, tak terkecuali di kalangan politisi.
Melihat fenomena beberapa tahun terakhir memang sangat memprihatinkan. Banyak politisi yang harus duduk di meja hijau dan dijeblosan ke penjara karena terlibat kasus korupsi. Bukan hanya politisi di tingkat pusat, politisi di tingkat daerah pun banyak yang terjerat korupsi. Lahan basah yang menjadi objek korupsi para politisi adalah APBD dan APBN. Bahkan ada yang nyambi menjadi calo anggaran.

Kasus-kasus korupsi seperti kasus suap Sesmenpora, suap di Kemenakertrans, kasus surat Palsu MK yang melibatkan politisi dan birokrat sedrta aparat penegak hukum. Saat ini pun muncul tuntutan agar Badan Anggaran (banggar) DPR dibubarkan karena disinyalir hanya menjadi ajang korupsi dan calo anggaran.
Survei Kemitraan tahun 2010 memperlihatkan bahwa lembaga legislatif menempati urutan nomor satu sebagai lembaga terkorup dibandingkan lembaga yudikatif dan eksekutif. Hasil survei tersebut menyebutkan korupsi legislatif sebesar 78%, eksekutif 32% dan Yudikatif 70%. Hasil survei tersebut dapat menjadi indikator bahwa kepercayaan publik terhadap lembaga politik atau politisi sudah sangat rendah. Dampaknya, mungkin saja pada saat pemilu atau pemilukada, masyarakat sudah apatis dan memilih menjadi golput karena merasa dikhianati oleh para politisi yang mereka pilih.

Para politisi tersebut dipilih dan diberi amanah oleh masyarakat dengan harapan mampu memberikan perubahan dan mewujudkan kesejahteraan, tetapi kenyataannya berbanding terbalik. Para politisi tersebut justru menjadikan lembaga legislatif dan eksekutif sebagai sarana untuk korupsi dan memperkaya diri sementara rakyat yang memilihnya dilupakan, tetap miskin. Jika kita perhatikan, usia politisi yang terlibat kasus korupsi cenderung semakin muda. Misalnya kasus korupsi yang menimpa mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M. Nazaruddin yang berusia sekitar 30 tahunan yang juga turut menyeret beberapa nama anggota DPR yang berasal dari partai Demokrat yang usianya pun masih muda

Maraknya korupsi yang dilakukan oleh politisi seolah-olah mengidentikkan dunia politik dengan korupsi. Stigma yang muncul adalah bahwa setiap politisi pasti (pernah) korupsi. Para pemimpin saat ini memang banyak yang dihujat oleh rakyatnya karena terjerat korupsi. Saat ini sulit sekali mencari pemimpin yang dicintai oleh rakyatnya. Walaupun demikian, diantara banyaknya politisi yang korup, penulis melihat masih ada politisi yang bersih dan bisa menjadi panutan. Joko Widodo, Walikota Solo, Jawa Tengah adalah salah satu politisi yang menurut penulis perlu mendapatkan credit point. Beliau begitu dicintai rakyatnya karena dinilai sebagai sosok pemimpin yang bersih, merakyat, berpihak kepada kepentingan rakyat, mampu melindungi pasar tradisional sebagai urat nadi perekonomian rakyat dari serbuan pasar modern dengan melarang berdirinya mall di kota Solo. Meskipun tidak sepaham dengan Bibit waluyo, Gubernur Jawa Tengah dalam konsep pengembangan ekonomi, tetapi Joko Widodo punya prinsip dan mendapat dukungan masyarakat Solo.


Penulis melihat bahwa korupsi yang terjadi di kalangan politisi disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena rendahnya moralitas dan integritas sehingga menyebabkan mereka tergiur untuk korupsi. Ketika pertama kali masuk ke dunia politik, seorang politisi mungkin masih memiliki idealisme, tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan sistem yang kotor, maka idealismenya tersebut lambat laun terus menurun bahkan hilang.

Kedua, mahalnya biaya politik. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ketika seseorang mencalonkan diri menjadi caleg atau Kepala Daerah, biaya yang dibutuhkan sangat besar. Dana tersebut disamping berasal dari dirinya sendiri, juga berasal dari "sumbangan" pengusaha sehingga ketika dia terpilih.
Ketiga, gagalnya kaderisasi dan pendidikan politik di partai politik. Realita menunjukan bahwa ketika seseorang ingin menjadi ketua parpol, maka dia harus memiliki "gizi" yang banyak, sehingga politik uang, politik transaksional pun terjadi ketika pemilihan ketua parpol. Orang yang tidak berdarah-darah meniti karir politik dari bawah mendadak bisa menjadi elit partai karena memiliki uang.

Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat yang sudah rendah tersebut, partai politik secara institusi dan politisi secara individu harus introspeksi diri, memperbaiki diri, membersihkan dirinya dari para kader yang korup. Integritas dan kejujuran merupakan hal yang mutlak harus dimiliki oleh kader-kader parpol. Jika tidak, maka keberadaan parpol semakin tidak dipercaya dan semakin tidak dibutuhkan oleh masyarakat.
                                                                                                                         
Menekan penyebaran virus korupsi, tidak bisa hanya mengandalkan KPK. Polri dan kejaksaan harus berperan lebih aktif, apalagi Kapolri baru Komjen Sutarman akan membentuk Detasemen Khusus (Densus) Antikorupsi yang akan bersinergi dengan KPK dan kejaksaan. Kehadirannya tidak boleh mendegradasi peran KPK yang sudah terbukti keampuhannya, apalagi melemahkan dengan menganggapnya sebagai saingan. Masyarakat sudah merasakan peran KPK dalam pemberantasan korupsi. 

Selain pimpinan, penyidik, penuntut, dan pegawainya masih “relatif bersih” dibandingkan lembaga penegak hukum lainnya, gebrakannya pun mendapat acungan jempol masyarakat.

Selain keterbatasan sumber daya penyidik, juga begitu bertumpuknya laporan kasus korupsi di KPK. Menurut Ketua KPK Abraham Samad, setiap hari KPK menerima laporan kasus korupsi antara 30–40 kasus. Belum termasuk upaya perlawanan dari para koruptor untuk melumpuhkan KPK. KPK juga sering tertatih-tatih mengungkap unsur “perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya, menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara”. 


Tetapi untuk kasus Bank Century dan Hambalang yang terkait dengan puncak kekuasaan, KPK begitu lambat dan berbelitbelit. Maka itu, prestasi KPK menangkap tiga pelaku kekuasaan trias politica harus dijadikan motivasi untuk tetap gigih terhadap siapa pun.

0 komentar:

Posting Komentar