Reklamasi
Teluk Jakarta
Proyek reklamasi Teluk
Jakarta kian menjadi sorotan publik. Kontroversi pun semakin menjadi, usai
ditangkapnya Ketua Komisi V DPRD DKI Jakarta Muhammad Sanusi yang sedang disuap
oleh utusan Agung Podomoro Land. Praktik haram itu diduga terkait dengan
penyusunan rancangan Perda Reklamasi yang sedang disusun DPRD DKI Jakarta. Lalu,
bagaimana sebenarnya reklamasi Teluk Jakarta bermula? Berikut kronologi
reklamasi Teluk Jakarta yang ditulis dari Pendahuluan Kertas Posisi Koalisi Selamatkan
Teluk Jakarta Penolakan Terhadap Proyek Reklamasi Teluk Jakarta yang bersumber
dari laman resmi LBH Jakarta.
Teluk
Jakarta, atau dikenal juga dengan sebutan Pantai Utara Jakarta, berada di
sebelah utara Jakarta. Salah satu kawasan perairan di Jakarta ini secara
geografis di sebelah barat berbatasan dengan Tanjung Pasir, sebelah timur
berbatasan dengan Tanjung Karawang, dan di sebelah utara berbatasan dengan
bagian luar Kepulauan Seribu. Tempat ini menjadi muara bagi sungai besar yaitu
Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane serta 13 sungai yang berhulu di Bogor.
Teluk
Jakarta adalah sebuah kawasan perairan yang kaya dengan hasil lautnya berupa
hewan laut seperti ikan, kerang, kepiting, dan udang. Perairan Teluk Jakarta
menjadi salah satu pemasok ikan dan hewan lainnya di Jakarta. Wilayah Teluk
Jakarta juga menjadi tempat yang penting bagi masyarakat di pesisir Utara
Jakarta yang mata pencahariannya adalah nelayan. Perkampungan nelayan sudah
berdiri lama dan kehidupan mereka bergantung pada laut di Teluk Jakarta. Teluk
Jakarta juga menjadi habitat bagi burung laut Cikalang Christmas. Bahkan, Teluk
Jakarta pernah diusulkan untuk menjadi cagar alam karena menjadi habitat bagi
burung laut Cikalang Christmas.
Pada
tahun 1995, pemerintah pusat memaksakan proyek Reklamasi Teluk Jakarta dengan
dikeluarkannya Keppres No. 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta
yang ditetapkan oleh Presiden Soeharto pada 13 Juli 1995. Keppres tersebut
menetapkan Reklamasi Pantura sebagai satu-satunya jalan upaya penataan dan
pengembangan ruang daratan dan pantai untuk mewujudkan kawasan pantai utara
sebagai kawasan andalan. Kawasan andalan diartikan sebagai kawasan yang
mempunyai nilai strategis dipandang dari sudut ekonomi dan perkembangan kota.
Pakar
kelautan dari Institut Pertanian Bogor, Alan F Koropitan, mengungkapkan bahwa
reklamasi Teluk Jakarta sebenarnya bertentangan Peraturan Presiden (Perpres)
Nomor 122 tahun 2012. Perpres tersebut selama ini digunakan untuk menghalalkan
pelaksanaan reklamasi sebab memang memberi restu pada pemerintah daerah untuk
melakukan reklamasi.
"Gubernur dan bupati/walikota memberikan izin lokasi dan izin pelaksanaan
reklamasi dalam wilayah sesuai kewenangannya dan kegiatan reklamasi di
pelabuhan perikanan yang dikelola oleh pemerintah daerah," demikian bunyi
pasal 16 Perpres tersebut. Alan tak menampik bahwa dari sudut pandang
kewilayahan, berdasarkan perpres tersebut, pemerintah daerah memang memiliki kewenangan
untuk mereklamasi. Hanya empat pulau di pantai utara Jakarta yang merupakan
kawasan strategis nasional dan berada di bawah kewenangan kementerian, yaitu
Pulau Onrust, Cipir, Kelor, dan Bidadari. Sisanya berada dibawah kewenangan
pemerintah DKI. Namun demikian, Alan mengajak untuk melihat hal lain yang
sebenarnya juga terungkap pada Perpres tersebut, tentang syarat-syarat dilaksanakannya
reklamasi. Ayat 4 Perpres itu berbunyi, "Penentuan lokasi reklamasi dan
lokasi sumber material reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat 2 wajib
mempertimbangkan aspek teknis, aspek lingkungan hidup,dan aspek sosial ekonomi."Aspek
teknis diantaranya adalah hidrooseanografi yang meliputi arus laut dan sedimen.
Aspek lingkungan diantaranya kualitas air. Aspek sosial ekonomi diantaranya
terkait matapencaharian dan potensi konflik. Dari aspek lingkungan, berdasarkan
kajian Dannish Hydraulic Institute (DHI), lembaga yang dikontrak khusus oleh
Kementerian Luar Negeri pada tahun 2011, reklamasi berdampak buruk bagi
lingkungan.
"Berdasarkan kajian 17 pulau sekaligus, bukan pulau per pulau, reklamasi
akan mengakibatkan perlambatan arus," kata Alan ketika dihubungi
Kompas.com, Jumat (8/4/2016).
Lambatnya
arus berakibat pada banyak hal. Arus berperan "mencuci" material di
suatu perairan. Arus yang lambat berarti kemampuan "cuci" juga
berkurang sehingga akan mengakibatkan akumulasi material disekitar pulau
reklamasi. Material tersebut bisa berbagai macam. Pertama adalah sedimen yang
berasal dari perairan darat. Akumulasi sedimen, atau sedimentasi, akan
mengakibatkan penyumbatan air dari darat akan sulit masuk ke laut. Ini
berpotensi menimbulkan limpasan. Kedua adalah material organik. Meskipun bisa
bersifat "menyuburkan" perairan, material organik bisa bersifat
toksik bila berlebihan. Akumulasinya akan menyebabkan kematian ikan.Akumulasi
material organik juga akan memicu pertumbuhan alga beracun. Bom populasi alga
memang umum terjadi di perairan. "Tapi reklamasi akan meningkatkan peluangnya,"kata
Alan. Yang paling berbahaya adalah material berupa logam berat. Perairan utara
jakarta sudah terkenal dengan kandungan logam beratnya. Jika arus melambat,
logam berat yang terakumulasi di perairan utara Jakarta makin tinggi.
Dalam kesimpulan laporannya,
DHI menyebutkan bahwa reklamasi berdampak buruk bagi lingkungan dan sejauh ini
belum ditemukan cara untuk memitigasi beragam dampak tersebut. Alan mengajak
untuk menyudahi rebutan wewenang dalam soal reklamasi dan melihat dampak nyata
yang mungkin terjadi. Ia juga sekaligus meminta Presiden Jokowi bertindak dan
membuktikan komitmennnya pada laut."Kasus tangkap tangan oleh KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi) dan ribut-ribut ini adalah momen yang tepat untuk
menghentikan reklamasi di Teluk Jakarta dan memperbaiki tata kelola pesisir dan
laut," tegas Alan
Penghentian
pembahasan Raperda Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta serta
Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (ZWP3K) oleh DPRD DKI
Jakarta menimbulkan beberapa konsekuensi. Kepala Dinas Penataan Kota DKI
Jakarta Iswan Achmadi menyatakan, jika Raperda Tata Ruang Kawasan Strategis
Pantai Utara tak disahkan, semua bangunan yang telah didirikan di pulau hasil
reklamasi belum bisa mendapatkan izin dari Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(BPTSP) DKI Jakarta. "Dengan begitu, semua bangunan tersebut tak ubahnya
dengan bangunan ilegal," kata Iswan di Balai Kota, pekan lalu. Namun,
pakar hukum lingkungan hidup Asep Warlan Yusuf menyatakan, bangunan yang kadang
dibangun akan berdiri sebagaimana adanya, tanpa status. "Untuk bangunan
yang sudah telanjur dibangun dinyatakan status quo sampai dengan adanya
kepastian atau keabsahan dan legalitas dari rencana tata ruang pantai
utara," jelasnya kepada Kompas.com, Selasa (12/4/2016).
Ucapan
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi yang menyebutkan pembicaraan kedua
raperda itu dihentikan, bukan ditunda, mengindikasikan reklamasi dipastikan
akan batal. Jika itu benar terjadi dan reklamasi dibatalkan, maka bangunan yang
sudah berdiri di sekitar Pantai Utara Jakarta mesti mendapatkan ganti rugi. "Apabila
keputusan akhir reklamasi dibatalkan, maka bagi bangunan yang telah berizin
harus ada penggantian yang layak terhadap pemilik bangunan, seperti tercantum
dalam Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang," tutur
Asep.
Saat
ini, di satu dari 17 pulau hasil reklamasi di Pantai Utara Jakarta, yakni Pulau
C, telah didirikan sejumlah bangunan oleh PT Kapuk Naga Indah, anak perusahaan
dari Agung Sedayu Group. "Untuk Pulau C, kami sudah melakukan penertiban.
Surat peringatan sudah dilayangkan. Surat segel juga sudah dilayangkan, sama
surat perintah bongkar. Kami arahkan agar kegiatan pembangunan dihentikan di
lapangan sampai perizinan selesai dilakukan," kata Iswan.
Dari
sebuah dokumentasi di Pulau C baru-baru ini, tampak pembangunan di pulau
tersebut sudah sangat masif. Beberapa bangunan dan zona-zona tertentu telah
dibuat oleh pekerja di lapangan, termasuk infrastruktur, seperti akses jalan
dari dan ke Pulau C.
Komentar:
Reklamasi Teluk Jakarta akan
berakibat buruk bagi para nelayan di sekitar Teluk Jakarta. Dengan adanya
reklamasi mereka akan kehilangan mata pencarian mereka selama ini. Dan juga
dengan adanya reklamasi ini dapat merusak habitat burung Cikalang Laut Christmas. Seharusnya pemerintah
lebih bisa memikirkan dampak apa saja
yang ditimbulkan dengan adanya reklamasi, jangan hanya mementingkan
faktor ekonomi dan perkembangan kota saja. Banyak dampak negatif yang di
timbulkan dengan danya reklamasi ini, sebaiknya pemerintah memikirkan kembai
keputusan untuk mereklamasi Teluk Jakarta demi kebaikan semua pihak.